Please, Jangan Panggil Aku "Akhi"


Dulu, zaman dahulu kala saat aku masih duduk di bangku SMP dan SMK, aku selalu terlena akan dunia namun aku tak mengenal dunia ini siapa yang membuatnya. Dulu, seandainya dulu aku sudah bisa buat KTP mungkin status agama hanya sebatas simbolis saja. Dulu, kata “bismillah” hanya sering terdengar tapi aku tak sama sekali mengamalkannya.

Saat ini, ketika duduk di bangku perkuliahan ada yang berubah dariku, walaupun itu sedikit namun perubahan itu sempat menghawatirkan kedua orangtuaku yang beranggapan bahwa aku sudah dijebak dalam ormas Islam yang radikal (“Maklumlah masyarakat kini taunya ISIS sedang open recuitmen anggota”). Pemandangan yang bisa dibilang belum pernah dilihat dalam suasana di rumah saat-saat aku menghiasi rumah dengan lantunan ayat suci dalam ibadah wajib dan sunnah yang sedang dijalani.

Awalnya aku dijebak oleh seseorang untuk bergabung dalam sebuah organisasi Lembaga Dakwah Fakultas dikampus ku. JUJUR, dilubuk hati yang paling dalam, aku kini berterimakasih atas jebakan ini, jebakan yang memaksaku berubah dalam hal kebaikan. “Memang benar terkadang perubahan itu perlu dipaksakan, mau nunggu hari TUA baru berubah ? ya, kalau seandainya umur ini cukup sampai usia TUA !”terbesit dalam pikiran. Ini lah dasar mula atas perubahan yang aku alami.

”Assalamu’alaikum akhi, apa kabar antum hari ini?”

Bahasa itu sudah sangat familir di telingaku yang tak jarang juga mewarnai screen ponselku. Sapaan-sapaan ukhuwah, dengan bahasa dakwah. Aku memahami betul bagaimana frase-frase itu sejatinya adalah buah keimanan. Aku menyadari seutuhnya kalau sapaan itu adalah buah cinta yang Allah titipkan pada hamba_Nya. Tapi entah mengapa, setiap intonasi yang mengeja kata-kata itu tak mampu membuat jiwa ini bergetar atau sekadar tersentuh.

Sahabatku, taukah engkau mengapa aku tidak suka ketika kau sebut kata itu? Aku tidak sedang hiperbolis, dengan mudah tidak menyukai kata yang tak bersalah. Namun, sungguh, aku malu, saat kau panggil aku ”akhi”. Jiwa ini tersentak ! Bagiku, kata-kata itu sangat sakral diucapkan. Kata itu adalah penegasan bahwa aku adalah insan dengan kepribadian yang setidaknya mendekati sosok sang murabbiku, atau sosok sekaliber Umar, sebijak Abu Bakar, secerdas Ali dan sedermawan Usman. Bahkan seperti Muhammad saw. Sosok insan terbaik sepanjang zaman.

Sahabatku, taukah engkau mengapa aku tidak suka ketika kau panggil aku dengan kata itu? Karena aku belum apa-apa. Aku tak lebih hanya segumpal daging membusuk dengan sagala zhon yang menjadi belatung dan diselimuti bau kedengkian. Senggumpal daging yang masih saja bertahan dengan keegoannya untuk sekadar mengakui bahwa Dia ada dimana saja. Bahwa Dia, Zat yang Maha Agung selalu melihat setiap gerakku. Bahwa, Dia, Zat yang Maha Rahman selalu mencurahkan karunia tiada henti. Bahwa, Dia, Zat yang Maha Rahim, telah mengumpulkanku dengan gumpalan daging-daging lain yang lebih baik yang senantiasa menutupi bau busukku. Bahwa Dia yang maha Ghafar, yang akan selalu menerima setiap permohonan ampun dan taubatku…

Sahabatku, taukah engkau mengapa aku risih ketika kau ganti sapaanku dengan kata ”akhi”? Karena, setiap alunan syahdu itu berkumandang(adzan), aku masih sibuk dengan duniaku. Ketika seruan itu mengalun, menggagahi langit buana, aku masih memilih untuk sekadar merebahkan tubuh atau terus membuka mata di depan ”kotak” yang katanya bermanfaat kalau dimatikan. Bahkan tak jarang aku menunda, karena aku masih berbincang-bincang, ”bincang dakwah”, begitu biasanya aku menyebutnya. Begitu pula saat Allah turun ke langit bumi, di sepertiga malam terakhir, aku lebih memilih bercumbu dengan kasur dan hanyut dalam narasi mimpi tanpa peduli kalau sesunguhnya saat itu adalah saat Allah mengijabah pinta hambaNya.

Sahabatku, taukah engkau mengapa aku sangat tidak nyaman saat kau sebut kata ”akhi” dan kau tempelkan padaku? Karena, aku masih ingat, saat kaki ini berat melangkah untuk sekadar meneriakan ”Allahu akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!” sambil sesekali memegang poster dan menyusuri jalan kota. Dan aku juga masih hafal, ketika ”bincang dakwah” kuanggap sebagai beban yang tak lebih dari sekadar permainan skenario dan olah kata. Ya, aku tak pernah menikmati semuanya. Aku hanya menghadirkan raga tanpa menggandeng jiwa. Aku hanya mengucap kata tanpa mengerti makna untuk apa aku di barisan ini.

Sahabatku, sekali lagi, tahukah engkau mengapa aku lebih memilih untuk dipanggil dengan namaku saja atau (bro,agan, boy), dari pada dengan kata itu. Karena, aku masih berpikir dua kali untuk membuka dan membaca Al-Qur’an di Kos-an , di ruang kelas, di kantin dan di taman untuk sekadar membaca satu halaman saja surat cinta dariNya. Aku lebih memilih menekan keypad ponsel, sending message, just say hello, walaupun aku sadar tanpa itu pun aku tetap bisa berkomunikasi dengan baik.

Sahabatku, Jangan panggil aku dengan kata itu. Sekali lagi, aku belum pantas menyandangnya. Terlebih lagi kalian semua sudah tau bagaimana diriku, kepribadianku, tingkah laku, sampai dengan cara bicaraku yang masih belum ada batasan dengan lawan jenisku.

Bukan maksud hati buruk, namun tulisan ini bentuk dari kegelisahan yang ku alami atas ketidak pantasan diriku di panggil “akhi”. Justru dengan panggilan ini nantinya yang membuat aku perlahan-lahan menjauh, karna dengan kata dasar “MALU” yang belum bisa seperti dirimu, dia, dan lainnya.

Sahabatku, mohon do’a nya selalu semoga dan semoga perlahan-lahan aku mulai seperti yang kalian inginkan. Merubah kebiasaan aku bisa, namun merubah karakter dan kepribadiaan itu yang amat susah. Semuanya masih dalam tahap “PROSES” perjuangan.

#bismillah